Kumpulan Cerita Sex 2018 - Pada suatu pagi aku menerima sepucuk surat. Ternyata surat itu dari
sahabatku Nasem yang tinggal di Manado. Isinya dia mengundangku datang
ke sana untuk berkangen-kangenan. Maklum telah puluhan tahun kami
terpisah jauh. Nasem di Minahasa, Sulawesi Utara dan aku tetap di
Malang, Jawa Timur.
Dalam suratnya, Nasem menceritakan pula tentang keadaan Hamid
(samaran, sahabat kami pula) di Tewah. Katanya, ia juga kangen padaku.
Yah, sesungguhnya aku pun juga kangen pada mereka. Kami adalah tiga
sahabat karib, yang dulu tak terpisahkan. Lahir di kampung yang sama,
tahun yang sama pula. Tak heran orang kampung menjuluki “Three
Brothers”. Cuma bedanya, Nasem dan Hamid sukses di kariernya. Kini Nasem
menjadi Kepala Cabang Dealer Mobil/Motor di Minahasa dan Hamid menjadi
pedagang antar pulau dan tinggal di Tewah. Sedang aku tidak. Tak banyak
yang bisa dilakukan anak petani macam aku ini.
Sayangnya, setelah 10 tahun menikahi gadis Minahasa, Nasem belum juga
dikaruniai anak. Beda denganku yang harus pontang-panting menghidupi
isteri dan keempat anakku. Kalau saja Nasem tidak membantu, mungkin aku
sudah tidak sanggup. Itulah yang membuatku terharu. Meski sudah makmur
dan terpisah oleh lautan, mereka masih memperhatikanku.
Kembali ke surat Nasem. Ada satu hal penting yang disampaikannya,
yaitu minta bantuanku. Tanpa menjelaskan apa yang dimaksudkannya. Aku
pun bingung, apa yang bisa kuperbuat untuk membantu orang sekaya Nasem?
Dengan uang yang dikirimkannya, aku pun berangkat memenuhi
undangannya. Istriku harus tinggal, untuk menjaga rumah dan anak-anak
yang harus sekolah. Kepadanya aku pamit untuk waktu barang satu dua
minggu.
Lalu, setelah 5 hari 5 malam berlayar, aku pun sampai di tujuan. Di
situ aku sudah dijemput oleh Nasem dan istrinya. Begitu kapal bersandar,
mataku menangkap sepasang tuan dan nyonya melambai-lambaikan tangan.
“Nduutt.., Genduutt..!!” Teriak mereka. Nasem masih tetap memanggil
dengan julukanku dan bukan namaku. Dulu semasa kecil, aku memang paling
gendut dibanding Nasem Dan Hamid.
Begitu turun dari kapal, kami saling berpelukan tanpa canggung.
Kurasakan mereka memang rindu sekali padaku. Acara kangen-kangenan
berlanjut sampai di rumah. Rumah Nasem besar, sedang dipugar dan mirip
rumah pejabat. Apakah karena hal ini ia memanggilku ke sini? Entahlah.
Praktis seharian kami tak menyinggung soal kedatanganku, karena
keasyikan saling berkisah selama kami berpisah.
Maka pada malam kedua itulah, sehabis makan malam, Nasem dengan
istrinya Sari memanggilku ke ruang tamu. Mulailah mereka membicarakan
soal “bantuan” itu.
“Kira-kira apa yang bisa kubantu, apakah mengerjakan rumahmu ini?” tanyaku.
Kulirik, Nasem menggelengkan kepala.
“Begini Ndut, kamu kan tahu kami sudah 10 tahun menikah, tapi belum juga
diberi momongan. Masalahnya, menurut dokter, aku ini memang mandul.
Jadi kami sepakat untuk minta tolong kamu. Itu sebabnya kami
mengundangmu datang kemari,” tutur Nasem, panjang-lebar. Tapi aku masih
bingung dengan ucapannya itu, hingga kuminta ia menjelaskan lagi.
“Jelasnya, kami ingin sekali punya anak walau seorang. Tapi kutahu pasti
dari dokter bahwa aku tidak bisa membuahi istriku karena aku mandul.
Maka kuminta bantuanmu untuk menggantikan diriku agar kami bisa punya
anak,” tuturnya lagi dengan jelas.
“Hah.. apa? Aku harus menggantikan dirimu agar bisa memberikan anak kepadamu,” tanyaku, penasaran.
“Yah.. begitulah maksudku,” jawabnya, membuat aku kian tak mengerti.
“Lalu dengan cara bagaimana aku menggantikanmu? Kamu kan tahu bahwa aku
ini bukan ‘Deddy Coubuzier’ atau dukun. Apakah aku bisa melaksanakan
permintaanmu itu Sem?” ucapku.
“Ah kamu ini memang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu. Begini, kamu
ini memang bukan seorang dukun dan permintaanku ini tidak ada kaitannya
dengan perdukunan. Yang kuminta adalah, kesediaanmu menggantikan diriku
sebagai suami dari istriku, untuk membuahi rahim istriku agar kami bisa
punya anak. Sudah? Jelas tidak?” ucap Nasem merinci, dan nampak agak
kesal juga melihat kebodohanku.
“Oh begitu maksudmu. Tapi benarkah ucapanmu itu? Dan apakah Sari
menyetujuinya?” tanyaku meyakinkan, seraya memberi pertimbangan agar
Nasem mengadopsi anak saja.
Menurut mereka, semula memang berniat untuk mengadopsi anak.
“Tapi sebaik-baiknya mengadopsi anak, masih lebih baik punya anak dari
rahim istriku sendiri. Dan ini kalau bisa.. ya kan sayang?” ucap Nasem.
“Ya Mas Ndut, kami sudah berunding sebelumnya. Dan demi keinginan kami,
aku rela menyerahkan tubuhku untuk dibuahi Mas Ndut..” ucap Sari pelan.
Kini aku paham maksud mereka. Tapi aku tak segera menjawab, mendadak
terpampang buah simalakama di mataku. Bila kuterima, ah.. itu berarti
aku harus melanggar pagar ayu. Apalagi ini istri sahabat sendiri. Dan
bila kutolak, Nasem pasti kecewa. Itu yang pertama. Yang kedua, aku
terlanjur datang jauh-jauh dari Jawa. Dan ketiga mengingat budi dan
jasanya yang kuterima selama ini, kapan lagi aku bisa membalasnya.
Tapi Nasem terus mendesakku.
“Yah.. bagaimana ini ya. Sem, kuterima atau tidak permintaanmu ini?” kataku.
“Sudahlah Ndut, kuharap kamu bersedia membantuku. Nggak usah risau, kami
pun tak ada perasaan apa-apa atas bantuanmu,” ucap Nasem meyakinkan.
Aku pun tanpa sadar berucap, “Yah baiklah. Tapi bagaimana nanti kalau gagal?” tanyaku.
“Seandainya gagal, itu bukan kesalahanmu. Nanti kami akan senantiasa
berdoa semoga keinginan kami ini dikabulkan,” ucap Nasem dengan arif.
Selanjutnya dengan kesepakatan dan restu bersama, aku diminta untuk
memulai malam itu juga. Begitu mendengar kesediaanku mereka permisi
hendak mempersiapkan kamar tengah. Nasem sendiri nampaknya pindah ke
kamar depan. Bantal dan perlengkapan tidur lainnya dibawanya ke depan.
Tepat pukul 22:00 WITA, aku dipersilakan Sari masuk ke kamar tengah
yang sudah bersih, indah dan harum. Terasa berat kakiku melangkah,
hingga Nasem dan Sari membimbingku masuk. Habis itu, Nasem pun keluar,
meninggalkan aku dan Sari berdua di kamar.
“Sari, apakah kamu yakin aku bakal bisa memberi anak nantinya..?” tanyaku.
“Mas Ndut, secara pribadi aku yakin kamu bakal bisa memberi anak untukku nantinya.” ucapnya manja.
“Aku tidak tega tubuhku yang kotor ini nantinya akan ‘mengobok-obok’ tubuhmu yang mulus itu.”
“Mas Ndut, aku kan sudah bilang ini demi keinginan kami berdua. Jadi
tubuhku yang mulus ini kuserahkan padamu Mas. Ayo dekatlah kemari Mas
Ndut. Tak usah malu-malu, aku siap bertempur Mas..” ucapnya lagi sambil
menarik tanganku ke pembaringan.
Sayup-sayup kudengar pintu jendela depan ditutup dan dikunci.
“Lho siapa yang menutup pintu dan jendela di luar sana itu Sar?” tanyaku, sembari duduk di bibir ranjang.
“Oh itu pasti Mas Nasem sendiri kok Mas Ndut,” jawabnya, seraya
menjelaskan bahwa 2 pembantunya terpaksa dipulangkan agar rencana ini
berjalan mulus.
“Oh begitu!” ucapku.
“Mas Ndut aku sudah nggak tahan nich?” ucapnya sambil membuka seluruh
pakaian yang melekat di tubuhnya yang mulus itu. Tubuhnya yang mulus
dengan susunya yang begitu montok dan vaginanya yang menantang. Panas
dingin aku memandangnya. Lutut ini gemetar dan tubuhku meriang bak kena
setrum listrik 1000 watt. Aku yang biasa melihat istriku bugil, kini
jadi lain.
Di rumah aku biasa tidur dengan beralaskan tikar. Kini aku berhadapan
dengan ranjang mewah beraroma wangi, plus tubuh mulus tergolek di
atasnya. Tapi badanku terus menggigil seperti terjangkit malaria berat.
Eh, Sari tiba-tiba bangun menghampiriku dan melepaskan seluruh pakaianku
yang sejak tadi belum kubuka. Aku cuma terbengong-bengong saja. Lalu..
“Sekarang.. coba Mas Ndut berbaring..” ucapnya sambil mendorong tubuh
telanjangku. Aku menurut saja. Penisku segera menegang ketika merasakan
tangan lembut Sari mulai beraksi.
“Wah.. wahh.. besar sekali penismu, Mas Ndut.” tangan Sari segera
mengusap-usap penis yang telah mengeras tersebut. Segera saja penisku
yang sudah berdenyut-denyut itu masuk ke mulut Sari. Ia segera menjilati
penisku itu dengan penuh semangat. Kepala penisku dihisapnya
keras-keras, hingga membuatku merintih keenakan.
“Ahh.. ahh.. ohh..” aku tanpa sadar merintih merasakan nikmat sesaat.
Menyadari keringatku yang mengucur dengan deras sehingga menimbulkan
bau badanku yang kurang sedap, buru-buru aku mendorong kepala Sari yang
masih mengulum penisku itu untuk pamit mau mandi dulu. Lalu, kuguyur
badanku dengan segala macam sabun dan parfum yang ada di situ kugosokkan
agar badanku harum.
Tiga kran yang ada di situ kubuka semua dan kurasakan mana yang
berbau sedap, kupakai untuk menyegarkan badan. Bukankah sebentar lagi
aku mesti melayani sang putri bak bidadari?! Mungkin sudah terlalu lama
aku di kamar mandi, terdengar Sari mengetuknya. Begitu pintu kubuka, ah.
Sari berdiri dengan tubuh montoknya. Ohh.. Seandainya yang pamer aurat
di depanku itu istriku aku tak akan menanti lama-lama pasti langsung
kudekap dia. Tapi dia adalah istri sahabatku.”Malaria”-ku yang sempat
sembuh waktu mandi tadi, kini kumat lagi. Cepat-cepat aku masuk lagi dan
menguncinya. Di dalam kamar mandi aku bimbang bagaimana sebaiknya,
kulaksanakan atau kubatalkan saja?
Akhirnya malam itu terpaksa gagal. Hingga pukul lima pagi aku masih
belum berani melakukannya. Melihat Sari bak bidadari turun dari
kahyangan, memang membuatku tergiur. Tapi ketika berhadapan dengannya
nyaliku jadi ciut.
Esoknya rupanya Sari melapor pada suaminya. Dan aku ditegur Nasem.
“Ndut, kenapa tidak kamu laksanakan? Bukankah sudah kami katakan.” ucapnya.
Aku cuma diam saja. Agar tidak kecewa lagi, malam ini tekadku akan kulipatgandakan untuk melakukannya.
Pukul 22.00 WITA, Nasem meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
Sejurus kemudian, “Ayo Mas Ndut kita tidur yuk,” ucap Sari manja sembari
meraih tanganku dan ditariknya ke kamar. Setelah mengunci pintu kamar,
dia menyuruhku duduk di tepi ranjang dan jari-jarinya yang lentik mulai
memijat pundakku. Aneh, setelah dipijat aku menjadi lebih rileks. Dia
sorongkan wajahnya dekat sekali dengan wajahku dan tiba-tiba bibir kami
sudah merapat dan saling menghisap. Lama juga kami berciuman dan juga
saling memilin lidah sementara tangan kami saling membelai dan mengusap.
Kami masih duduk berhadapan. Lalu Sarilah yang mulai membuka semua
pakaianku. Dia kecup leherku turun ke bawah ke dada dan ke puting
dadaku. Sampai disini, dia menjulurkan lidahnya dan putingku
dijilat-jilat. penisku langsung menegang, sangat keras dan semakin keras
karena diremas-remas olehnya.
Singkat kata, kami pun sudah bertelanjang bulat dan aku pun segera
menindih badannya yang kenyal dan padat. Karena ada sisa kegugupan, maka
aku langsung coba memasukkan penisku ke dalam vaginanya.
“Tunggu, pelan-pelan saja Mas Ndut,” bisiknya sambil mengelus kepala
kemaluanku di depan lubangnya. Pelan-pelan sekali. Lalu tugasnya kuambil
alih dan kulanjutkan menyentuh dan menggosokkan kepala penisku itu.
Pelan dan pelan sekali. Terasa olehku lubangnya semakin basah dan licin.
Tiba-tiba.. “Slepp..” masuklah penisku ke dalam sangkarnya.
Aku mulai menggenjot perlahan-lahan. Naik turun, naik turun.
Sementara itu bibir kami berdua tetap bertaut. Saling kecup, saling
hisap. Tangan Sari mengusap-usap punggungku terkadang turun ke bawah ke
pantat dan jarinya mempermainkan lubang pantatku, geli campur enak.
Tanganku sibuk mengelus kepalanya dan rambutnya. Semua kami lakukan
dengan pelan dan lembut.
Setiap aku hampir sampai ke puncak, Sari selalu memelukku erat-erat
sehingga aku tidak bisa bergerak. Tepatnya, kami berdua diam tak
bergerak sambil saling peluk dan penisku tertanam dalam di kemaluannya.
Setelah agak reda kembali aku memompa naik turun.
Selang beberapa saat, Sari ganti di atas. Rupanya dia amat menyenangi
posisi ini. Ganti sekarang dia yang memeluk dan menciumiku sementara
pantatnya bergoyang dan berputar dengan penisku tertancap di dalam
kemaluannya. Semakin lama semakin semangat. Sampai akhirnya ia pun
mengejang dan mulutnya berdesis-desis dan kepalanya bergoyang-goyang
liar ke kiri dan ke kanan, kupeluk dia dan kutekan pantatnya sehingga
sampailah ia pada puncak kepuasannya. Lemaslah tubuh Sari dan dia
menciumi seluruh wajahku sambil mengucapkan, “Terima kasih ya Mas? Mas
telah melakukan tugas dengan baik.. aku sungguh tidak menyangka Mas bisa
membuatku melayang sampai ke langit yang ke-tujuh.. (ucapnya sambil
mengecup bibirku, terus tangannya memegang penisku yang menurut dia jauh
lebih besar dan panjang dari punya Nasem)”.
Selesai tugasku maka aku pun membalikkan badannya dan ganti aku di
atas. Kuangkat kedua kakinya dan kubelitkan di kedua pahaku lalu
kumasukkan penisku dan kukocok perlahan-perlahan untuk makin lama makin
cepat dan akhirnya menyemburlah air maniku ke dalam lubang vagina Sari.
Sari memeluk tubuhku erat-erat dan kami pun berciuman lama. Sempat
sekitar sepuluh menit kami diam tak bergerak dalam posisi aku di atas
badannya dan tubuh kami tetap jadi satu bersambung dari bawah.
Tak terasa ‘pekerjaan’ yang kulaksanakan ini sudah menginjak malam ke dua belas.
“Mas Ndut, sebenarnya menurut perhitungan saya, haid saya sudah lewat 7
hari yang lalu,” kata Sari pada suatu malam setelah kami kelelahan. Tapi
Nasem masih belum yakin istrinya hamil. Aku dimintanya ‘bersabar’
barang sepuluh hari atau dua minggu lagi. Bersamaan dengan itu, ia
mengirimkan uang belanja untuk istriku dan anak-anakku.
Hingga pada suatu hari, terhitung hampir sebulan aku di sana. Nasem
membawa istrinya ke dokter ahli kandungan. Tak berapa lama mereka pun
pulang dengan wajah yang cerah. Berhasil!
“Oh Ndut, istriku hamil!” katanya gembira.
Kiranya ‘pekerjaanku’ tak sia-sia. Kusarankan pada mereka untuk menjaga
kandungan Sari, hingga kelak si jabang bayi lahir. Aku sendiri, sudah
kangen pada keluargaku di kampung. Maklum, hampir sebulan aku
meninggalkan mereka. Tapi aku berjanji kepada Nasem, bersedia diundang
lagi seandainya hasilnya gagal. Nasem pun tak keberatan melepaskanku
pulang. Kebetulan dua hari lagi ada kapal berangkat ke Surabaya. Sorenya
mereka belanja oleh-oleh untuk keluargaku di rumah. Aduh bukan main
senangnya hati mereka. Setelah itu aku pun berangkat naik kapal pulang
ke kampung.
Singkat cerita, sesampainya di rumah kukatakan pada istriku bahwa aku
diminta menyelesaikan bangunan rumahnya. Dan istriku percaya saja. Tapi
dalam hati, aku merasa berdosa kepadanya.
Delapan bulan kemudian aku menerima surat dari Nasem bahwa ‘anaknya’
telah lahir, wanita, cantik lagi, dan diberinya nama Ratih. “Ah
syukurlah,” gumamku.
Begitulah yang terjadi. Rahasia ini masih kusimpan demi ketenangan
keluargaku. Tapi satu hal yang tak dapat kupungkiri, bahwa darah
dagingku pun terpisah di sana. Disatu sisi aku bangga dapat
membahagiakan sahabatku dan membalas budinya. Tapi disisi lain soal
akibat dosanya, kuserahkan kepada Yang Di Atas. Aku hanya dapat berucap,
mohon ampun pada-Nya.
. Ternyata
aku
dari
di Manado
itu
menerima
Nasem
Pada
pagi
sahabatku
sepucuk
suatu
surat
tinggal
yang
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.